Site icon Seputar Jabar

Indikasi Mafia Tanah, Warga Dago Elos Kembali Datangi Kantor ATR/BPN Kota Bandung

BANDUNG – Polemik lahan di wilayah Dago Elos, Kota Bandung, masih menjadi sorotan publik. Pasalnya persoalan tersebut sampai sekarang belum ada titik penyelesaiannya.
Koordinator Warga Dago Elos Melawan, Angga Sosio Putra mempertanyakan kepada pihak Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Bandung, apa yang akan dilakukan pemerintah melihat kondisi masyarakat Dago Elos.
“Tempo hari sudah ada pembicaraan. Adakah indikasi mafia tanah dan semuanya bersepakat ada. Lantas kalau bersepakat ada, apakah didiamkan saja?,” tanya Angga, belum lama ini.
Diketahui sebelumnya, warga Dago Elos bukan kali pertama mendatangi Kantor ATR/BPN Kota Bandung, sempat sekiranya dua bulan ke belakang pun beramai-ramai berkunjung.
“Kami dijanjikan, bahkan tidak main-main, bukan hanya di mediasi tapi dijanjikan adanya koordinasi dan follow up lebih lanjut,” ujarnya.
Akan tetapi, janji manis yang disampaikan pihak ATR/BPN Kota Bandung justru tak dirasakan oleh warga.
Angga mengaku, sampai sekarang tidak ada respons sama sekali, baik itu BPN maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terkait polemik lahan tersebut.
“Karena ini luasan cukup besar, kemudian di dalam luasan tersebut lebih dari 2 ribu jiwa yang terancam (huniannya digusur penggugat),” ucapnya.
Angga menegaskan, kedatangan warga Dago Elos ke Kantor ATR/BPN Kota Bandung itu, meminta supaya persoalan lahan jadi perhatian serius.
“Ini jadi perhatian khusus, baik itu oleh Pemkot Bandung maupun (Pemprov) Jawa Barat,” tegasnya.
Angga menerangkan, sekiranya lebih dari 2.000 jiwa yang ada di Dago Elos, tak ada satu orang pun yang menempati lahan milik pemerintah.
“Sama sekali tidak ada satu jengkal pun tanah Kota Bandung yang ada di situ. Dan tidak ada rumah yang tiba-tiba berdiri di tengah Terminal yang lahannya milik Pemkot Bandung,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, sengketa lahan tersebut seluas 6,3 hektare yang sudah lama dibangun hunian ratusan Kepala Keluarga (KK).
Akan tetapi, lahan yang ditempati warga itu justru digugat oleh ketiga orang yang mengaku keturunan Muller, yakni Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller.
Akibat gugatan keluarga Muller itu, membuat warga Dago Elos terancam digudur, lewat pegangan mereka yakni eigendom verponding atau hak milik tanah atas dasar produk hukum pertanahan di masa Kolonial Belanda.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan ketiga Muller tersebut melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) atas tanah Dago Elos.
Berdasarkan keputusan itu, membuat ketiga Muller dianggap masih punya hak atas kepemilikan objek tanah eigondom verponding Nomor 3740, 3741, dan 3742 seluas 6,3 hektare.
Tak hanya itu, dalam PK diketahui, ada pernyataan penyerahan hak atas tanah dari keluarga Muller kepada PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan properti.

Exit mobile version