Dimas Sodik Mikail dan Yohanes Situmorang saat dihadirkan di persidangan. Keduanya dicecar usai banyak menyebut tidak tahu ketika dimintai keterangannya dalam kasus korupsi proyek Dinas Perhubungan.
Dimas Sodik Mikail dan Yohanes Situmorang dipanggil untuk memberikan kesaksian atas 3 terdakwa yaitu Wali Kota Bandung nonaktif Yana Mulyana, Kadishub Dadang Darmawan dan Sekdishub Khairul Rijal. Sebelum mereka, Kasi Lalu Lintas Jalan Dishub Kota Bandung Andri Fernando Sijabat sudah terlebih dahulu diperiksa JPU KPK.
JPU memeriksa Dimas Sodik Mikail terlebih dahulu. Kasi Perlengkapan Jalan Dishub Kota Bandung itu kemudian mulai dicecar pertanyaan mengenai fee proyek yang berasal dari setoran pengusaha kepada institusinya.
Dimas lalu membeberkan, pada 2023, ia mengaku menerima fee dari 4 perusahaan sesuai dengan perintah Sekdishub Khairul Rijal. Fee dari hasil proyek itu nilainya mencapai sekitar Rp 190 jutaan dan kemudian ia klaim digunakan untuk keperluan operasional hingga THR para staf Dinas Perhubungan.
“Setelah menerima, saya sampaikan ke Pak Rijal. Kemudian (digunakan) untuk operasional bidang dan sebagian saya simpan,” kata Sodik di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (13/9/2023).
“Dibagi-bagi enggak uangnya?,” tanya JPU KPK.
“Tidak, pak, tidak ada. Uangnya dipakai untuk keperluan ramadan, keperluan staf bidang, untuk munggahan sama THR untuk staf,” ucap Sodik menimpali pertanyaan JPU KPK.
JPU KPK kembali mencecar Dimas Sodik mengenai setoran proyek yang diduga mengalir ke sejumlah pejabat teras Pemkot Bandung. Namun di sini, Dimas Sodik berdalih tidak mengetahui hal tersebut.
Merasa kurang puas, JPU KPK kembali mencecarnya mengenai kronologi perjalanan rombongan Yana Mulyana cs ke Thailand. Lagi-lagi, Dimas banyak mengatakan tidak tahu saat JPU menanyakan adanya penyerahan uang yang dilakukan 2 petinggi PT Sarana Mitra Adiguna (SMA) saat di Thailand.
“Jujur saksi, yah, disumpah kan. Saya sudah tanya beberapa kali, lho, jangan bohong,” ucap JPU KPK mengingatkan Dimas Sodik Mikail.
“Tidak, pak. Tidak tahu,” tutur Dimas Sodik Mikail menjawab kembali pertanyaan JPU.
Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini, Yana Mulyana, Kadishub Dadang Darmawan dan Sekdishub Khairur Rijal telah didakwa menerima suap total senilai Rp 2,16 miliar. Uang suap tersebut berasal dari 3 perusahaan yang menggarap sejumlah proyek di Dishub Kota Bandung.
Adapun rinciannya, Sekdishub Kota Bandung Khairur Rijal memiliki keterlibatan penerimaan suap paling besar di kasus tersebut yaitu senilai Rp 2,16 miliar. Sementara Dadang dan Yana, disinyalir terlibat dalam penerimaan suap Rp 300 juta dan Rp 400 juta.
Uang suap pertama berasal dari Benny dan Andreas Guntoro selaku Direktur dan Vertical Manager Solution PT Sarana Mitra Adiguna (SMA). Dari keduanya, Rijal bisa mendapatkan duit haram senilai Rp 585,4 juta.
Kemudian penerimaan duit haram kedua berasal dari Direktur Komersial PT Manunggaling Rizki Karyatama Telnics atau PT Marktel, Budi Santika, sebesar Rp 1,388 miliar. Uang miliaran tersebut diberikan supaya perusahaan ini bisa menggarap 15 paket pekerjaan berupa pemeliharaan flyover, kamera pemantau hingga alat traffic controller di Dishub Kota Bandung senilai Rp 6,296 miliar.
Penerimaan terakhir berasal dari Direktur PT Citra Jelajah Informatika (CIFO) Sony Setiadi senilai Rp 186 juta. Dalam dakwaannya, Titto menyebut duit haram itu mengalir kepada Yana Mulyana Rp 100 juta dan Rp 86 juta untuk keperluan THR staf Dishhub Kota Bandung.
Selain suap, JPU KPK juga mendakwa ketiganya menerima gratifikasi. Adapun rinciannya yaitu, Rijal menerima uang haram senilai Rp 429 juta, 85,670 Bath Thailand, SGD 187, RM 2.811, WON 950.000 dan 6.750 Riyal.
Sementara Dadang, didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 475 juta. Sedangkan Yana, didakwa mendapat gratifikasi Rp 206 juta, SGD 14.520 Yen 645.000 USD 3.000 dan Bath 15.630. Kemudian, Yana didakwa menerima gratifikasi berupa sepasang Sepatu merk Louis Vuitton tipe Cruise Charlie Sneaker.
Ketiganya masing-masing didakwa melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan komulatif kesatu alternatif pertama.
Serta Pasal 11 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan komulatif kesatu alternatif kedua.
Dan Pasal 12B Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan komulatif kedua.