Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai permasalahan rencana penghapusan tenaga honorer perlu dikaji ulang. Sebab dikhawatirkan pelayanan publik akan terganggu karena hal tersebut.
Menurutnya jika dulu tetap diberlakukan pengangkatan PNS atau ASN didasari oleh masa pengabdian maka permasalahan seperti saat ini tidak akan terjadi. Namun kini kebijakan tersebut sudah tidak berlaku lagi.
“Seiring dengan kebijakan yang berubah ini memang ada kelemahan titik itu yang seharusnya ada larangan pengangkatan tenaga honorer, tapi (pengangkatan honorer) tetap dilakukan pada akhirnya terjadi penumpukan pada hari ini,” ujar Kang Dedi.
Hal tersebut dipaparkan oleh Kang Dedi Mulyadi saat Rapat Pimpinan Komisi IV, Komisi VII, Komisi IX dan Komisi X di Gedung DPR RI, Selasa (23/8/2022).
Kang Dedi mengatakan para pekerja honorer yang sudah lama bekerja pada bidang yang ditekuni akan sulit bersaing dengan pelamar baru. Sebab secara logika orang yang sudah lama bekerja tidak lagi berpikir soal akademik, namun mereka fokus pada pekerjaan dan keluarga.
“Sedangkan mereka yang baru lulus perguruan tinggi aspek-aspek akademiknya sangat kuat, jadi ketika tes mereka akan selalu kalah dengan sarjana baru. Makin lama mereka (honorer lama) makin tidak terangkat dan jadi problem,” ucapnya.
Kedua, kata Dedi, hari ini banyak pikiran seluruh problem bisa diselesaikan dengan tes akademik yang bersifat komputerisasi.
“Pertanyaan saya adalah apakah sopir setum itu hafal komputer? Apakah sopir truk bisa komputer? Jangankan komputer mereka pegang pensil 2b saja kadang gemetar. Sehingga mereka yang punya pengabdian jelas pada masyarakat, pengabdian yang jelas pada pekerjaan yang berpuluh-puluh tahun sampai kiamat tidak akan terangkat. Akibatnya di daerah lulusan ASN itu banyak tetapi tenaga yang dibutuhkan daerah tetap tidak ada yang isi. Tukang sapu tidak ada isi, sopir truk tidak ada yang isi, OB tidak ada yang isi, akhirnya nanti ASN numpuk di administrasi,” kata Dedi.
Akibatnya kini postur anggaran lebih banyak terserap untuk tenaga administrasi. Hal tersebut bisa dilihat dari grafik anggaran yang hari ini habis oleh Tambahan Perbaikan Penghasilan (TPP). Sementara untuk anggaran pembangunan mengalami penurunan tajam.
“Sifat TPP itu orang kerja dan tidak kerja itu sama karena sifatnya administratif. Karena sifatnya administratif orang ngumpul difoto kemudian dipakai laporan untuk pimpinan lalu jadi uang. Akhirnya sifatnya administratif,” ujarnya.
Ditambah lagi pengelompokan kepegawaian yang mengakibatkan disparitas penggajian. Misal sektor pertanian masuk kelompok dengan gaji rendah. Berbeda dengan honorer sekretariat daerah yang bertugas melayani pimpinan akan mendapat honor yang jauh lebih besar.
“Bayangin orang bekerja riil pada produksi, gajinya lebih rendah dibanding dengan orang yang kerjanya tenaga protokol bupati. Jadi sistem ini harus segera dibedah,” ucapnya.
“Nasib tenaga honorer sekarang di ujung tanduk dan dikhawatirkan pelayanan publik akan ambruk.Tenaga honorer yang akan dihapus akan mempengaruhi pelayanan. Kita jujur bahwa tenaga honorer, hitung saja penyuluh honorer, petugas pelayanan bidang peternakan honorer, puskesmas honorer, guru yang mengajar tiap hari itu honorer, jadi kalau ini dihapus tanpa menghitung berdasarkan kebutuhan maka akan lumpuh pelayanan pemerintah,” kata pria yang mantan Bupati Purwakarta itu.
Untuk itu, Dedi yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini menyepakati melakukan kajian ulang dengan membuat Pansus yang bertugas mengevaluasi berbagai problem kebijakan birokrasi yang memiliki implikasi pada lemahnya pelayanan dan menurunnya tingkat kinerja.a
“Jadi saya setuju dibuat Pansus yang evaluasi seluruh kebijakan tentang ASN, baik pengangkatan honorer, maupun sistem penghonoran yang setiap hari memakan uang daerah cukup besar. Kita bisa lihat evaluasi APBD hari ini habis oleh TPP, anggaran pembangunannya menurun tajam dan itu hanya dihabiskan oleh tenaga administratif. Jadi saya menyepakati Pansus dibentuk untuk bersama-sama bekerja demi penyelamatan ratusan triliuan anggaran negara agar efektif pada kepentingan pembangunan,” kata Kang Dedi Mulyadi.