BANDUNG – Data mengejutkan diungkapkan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung Mereka mencatat, ada ratusan mahasiswa di Bandung HIV/AIDS di antara ribuan warga Kota Bandung. Jumlah mereka bahkan lebih banyak dari jumlah para pekerja seksual yang terdata terpapar HIV/AIDS.
Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, Sis Silvia Dewi, mengatakan terdapat sekitar 10.800 kasus HIV/AIDS di Kota Bandung sejak 1991 hingga 2021.
“Tapi yang terdeteksi sekitar 5.843 orang. Usianya yang paling banyak itu 20-29 tahun, yakni 44,84 persen, masuk dalam usia produktif. Kedua, usia 30-39 ada di angka 34 persen,” ujarnya saat ditemui di Kantor KPA Kota Bandung, kemarin.
Dari 5.800-an orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terdeteksi, ujar Silvia, mereka yang berstatus mahasiswa hanya 6.96 persen, atau sekitar 400-an orang.
Jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding pekerja seksual yang hanya 2,53 persen.
Di sisi lain, jumlah ibu rumah tangga yang terpapar justru hampir dua kali lebih banyak, yakni 11,18 atau sekitar 650-an orang.
Silvia mengatakan, HIV/AIDS memang tidak menunjukkan gejala yang mudah dikenali pada orang yang baru terpapar.
Itu sebabnya, banyak mereka tak menyadari dirinya terpapar pada masa-masa awal.
Itu pula yang membuat mereka yang terpapar juga tak menyadari bahwa dirinya telah menularkannya pada orang-orang dekatnya, termasuk pada pasangan mereka di rumah.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani, mengatakan telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS ini.
“Mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, karena kita tahu pencegahan itu lebih efektif dibandingkan mengobati,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.com, kemarin.
Ira mengatakan, mereka telah melakukan penyuluhan kepada masyarakat, termasuk kepada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) melalui program Hebat Sehat Bersama Sahabat.
“Jadi di situ ada materi-materi tentang HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, penyalahgunaan napza yang dikenalkan sesuai umur anak-anak yang menjadi sasaran kita,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, saat ini pun mereka telah mewajibkan ibu hamil yang mengunjungi fasilitas kesehatan (faskes) untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS.
“Kita tes dari awal. Jika positif, nanti diobati agar tidak menular ke bayinya saat melahirkan dan menyusui,” ucap Ira.
“Ibu-ibu hamil memang harus diperiksa HIV, sifilis, Hepatitis B, itu pemeriksaan rutin untuk mengetahui status kesehatan kita, bukan hal yang harus ditabukan di tengah-tengah masyarakat,” imbuhnya.
Selain itu, Ira menambahkan, puskesmas dan layanan kesehatan lainnya juga memiliki program mobile visity untuk melakukan konseling dan testing kepada komunitas-komunitas populasi kunci.
Oleh sebab itu, tutur Ira, peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bandung berarti pihak layanan kesehatan aktif mencari pengidap penyakit tersebut yang selama ini tidak terdeteksi karena belum atau tidak mau melakukan tes kesehatan.
“Kalau angkanya meningkat kan karena kita cari juga. Seperti ibu hamil, atau pengidap penyakit kelamin, kita tes HIV supaya memutus rantai penularannya, agar tidak lebih banyak di kemudian hari,” ungkapnya.
Tertinggi Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat, terdapat 3.744 kasus HIV/AIDS di Jabar pada Januari hingga Juni 2022.
Dari data tersebut, ada lima daerah di Jabar dengan kasus tertinggi, yakni Kota Bandung (410 kasus), Kabupaten Bogor (365 kasus), Kota Bekasi (365 kasus), Kabupaten Indramayu (352 kasus), dan Kabupaten Bekasi (217 kasus).
“Itu data dari aplikasi Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) hingga bulan Juni 2022,” ujar Ketua Tim Pencegahan Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Yudi Koharudin, dikutip dari Kompas.com, kemarin.
Yudi menjelaskan, dari 3.744 kasus tersebut, 69,2 persen (2.614 orang) di antarnya berusia 29-45 tahun dan 18,4 persen berusia 20-24 tahun.
Adapun faktor penularan terbanyak berasal dari hubungan hetersokseual, homoseksual, biseksual, pengguna napza suntik, dan penularan dari ibu kepada bayinya. Yudi menambahkan, kasus HIV/AIDS di Jabar punya kecenderungan meningkat tiap tahunnya.
“Kalau dari grafik di Jabar ada kenaikan tiap tahun naik. 2020-2022 kelihatan menurun karena memang kita tidak bisa banyak melakukan pengetesan karena pandemi. Sekarang di 2022, di setengah tahun saja kita sudah bisa menemukan 3.744 kasus,” papar Yudi.
Dia menyebut, penularan terbesar adalah aktivitas seksual.
“Penyebabnya gaya hidup mungkin karena HIV ini bisa menular salah satunya karena melakukan hubungan seks berisiko atau bukan dengan pasangannya. Kalau dari alat suntik dan lainnya itu justru kecil, yang besar itu penularan dari hubungan seksual yang berisiko bukan dengan pasangan,” ujarnya. (nandri prilatama/kps) HIV/AIDS di Bandung
– Swasta: 31.01 persen
– Wiraswasta: 15.32 persen
– Tidak bekerja: 12.44 persen
– Ibu rumah tangga: 11.18 persen
– Lain-lain: 9.45 persen
– Mahasiswa: 6.96 persen
– Tidak diketahui: 6.49 persen
– Pekerja seks: 2.53 persen
– PNS 1.99 persen
– Tenaga medis: 0.56 persen
– Napi: 0.50 persen
– Sopir: 0.46 persen
– TNI Polri: 0.43 persen
– Buruh kasar: 0 persen